Rabu, 22 November 2017

Jangan Salahkan Jilbabku



Jangan Salahkan Jilbabku
Kilat menyambar-nyambar sore ini ditambah derasnya hujan dan terpaan angin yang kuat. Rumput-rumput basah, semua tanaman merasa senang karena diguyur hujan sore ini. Titik-titik hujan ini membuat alunan nada yang indah pada setiap gemericiknya. Sehingga membuat jendela kamar ini berayun diterpa derasnya angin bercampur hujan.
Aku memutuskan untuk berdiri dan meletakkan novel yang sedang kubaca, kulipat pada sudut kanannya di halaman 296. Aku beranjak ingin menutup jendela, karena memang hujannya sangat deras dan cuaca sangat dingin sekali. Baru beberapa langkah aku mendekat ke jendela, pandangan yang mengejutkan terjadi niatku untuk menutup jendela pun aku urungkan. Kulihat Farah tersungkur pada trotoar di pinggir jalan, tanpa mengenakan jilbab dan ayahnya lah yang menarik dan melepaskan jilbab itu dari kepalanya, rambut Farah yang hitam dan lebat basah diguyur hujan sore itu. Ayahnya menjambak rambut Farah, memukul dan memaki Farah habis-habisan.
Kakiku bergetar, tubuhku langsung lemas, nafasku sesak melihat kejadian sore itu dan tanpa kusadari bulir-bulir air mata ku jatuh mambasahi pipiku. Aku masih terpaku di depan jendela itu, beberapa lama kulihat apa yang selanjutnya terjadi. Mungkinkah ayahnya akan menghentikan perbuatannya itu, tetapi tidaak ayahnya justru semakin brangasan dan kasar terhadap Farah. Aku sudah tidak sanggup lagi melihatnya, jiwaku memberontak saat melihat jilbab Farah diinjak dan dilemparkan ke selokan. Aku menutup jendela dan memutuskan untuk turun menolong Farah, aku berlari melewati anak tangga. Umi dan Abi yang sedang menonton televisi sontak terkejut melihatku berlari, merasa heran, mereka ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi tetapi aku lebih dulu berada dil uar sebelum mereka bertanya, aku berlari menembus hujan, kulewati becek-becek air hujan yang jatuh ke bumi, jilbabku basah kuyup sore itu.
Seketika aku telah sampai di hadapan Farah dan ayahnya. Deeer tamparan yang sangat kuat mendarat di pipi Farah, aku terlambat menangkis tangan ayahnya. Farah tersungkur, lemah. Aku langsung merangkul Farah dan mengangkatnya, minggir Farah biar aku yang bicara pada ayahmu yang tidak ada rasa       kasih    sayang ini.
“Siapa kau ini, tidak usah ikut campur urusan kami.” Gertak ayah Farah.
Aku bicara sambil teriak dan menunjuk-nunjuk wajah ayah Farah, karena memang hujan sudah hampir reda jadi suara ku bisa didengar oleh ayahnya.
“saya, saya adalah Shyfa temannya Farah, temannya yang tidak ikhlas jika sahabatnya diperlakukan seperti ini, apalagi dilecehkan dengan ini”, sambil mengambil jilbab Farah yang sudah lusuh akibat diinjak dan kena air hujan.

Shyfa seperti Harimau yang dibangunkan beberapa ucapannya menggertakkan hati ayah Farah, dia benar-benar marah melihat hal ini.
“Ayah macam apa kau ini hah? Menyakiti anak kandungmu sendiri, melukai hati darah dagingmu, benar-benar laknat Allah sudah di belakangmu.” Sambil mengusap air hujan di mukanya Shyfa menarik tangan Farah dan pergi meninggalkan ayahnya yang masih terpaku di tengah rintik-rintik hujan. Shyfa memberikan kembali jilbabnya agar Farah segera mengenakan jilbab itu, setelah itu Farah pun mengikuti Shyfa yang berlinangan air mata.
Aku berjalan menuju rumahku dan masuk tanpa mengucapan salam, Abi dan Umi yang masih bingung apa yang sebenarnya terjadi akhirnya memutuskan untuk bertanya kepada kami yang sudah basah kuyup.
“nanti Shyfa cerita yaa, mi bi. Shyfa mau ke kamar dulu, mau mandi dan sholat” Shyfa langsung masuk ke kamar bersama Farah.
“Farah, ini handuk kau segera mandi saja lalu sholat sekarang sudah masuk Maghrib”
Farah hanya mengangguk dan mengambil handuk yang diberikan Shyfa. Shyfa hanya memandangi suasana di luar lewat jendela, matanya nanar mendapati kejadian yang barusan dia lihat, tak terasa air matanya pun mengalir, membayangkan betapa tersiksanya hati Farah dia tidak akan sanggup jika dia yang berada pada posisi Farah saat itu.
Tok… tok… tok… Shyfa. Suara di balik pintu memanggil, ternyata itu umi.
“iya umi, sebentar”. Shyfa berjalan sambil menghapus air mata nya.
“Kamu kenapa belum mandi nak?”
“sebentar lagi mi, Farah sedang mandi”
“oh begitu, ya sudah nanti umi sama abi tunggu meja makan ya, sholat dulu sana.”
“iya mi” jawab Shyfa lalu menutup pintu.
Tidak berselang lama Farah selesai mandi, wajahnya agak sedikit segar dan tida terlalu pucat seperti tadi, hanya saja raut wajahnya benar-benar menggambarkan kesedihan yang luar biasa.
“Farah, bagaimana keadaanmu sekarang?”
“aku sudah lumayan Shyfa, terima kasih atas bantuanmu, jika saja tadi tidak ada kau mungkin sekarang aku sudah disate oleh ayahku” suara Farah berat sekali saat itu.
Sebenarnya aku langsung ingin bertanya padanya apa yang sebenarnya terjadi sampai-sampai ayahnya tega melakukan hal demikian padanya, tetapi karena kami belum sholat dan umi sudah menunggu kami dimeja makan jadi aku tunda dulu rasa penasaranku saat itu.Selesai sholat berjamaah aku mengajak Farah untuk turun dan makan malam bersama di bawah, dan Farah mengangguk lalu kami pun turun.
Ketika turun betapa terkejutnya Shyfa melihat seseorang yang sangat dia kenali dan rindukan ada di meja makan bersama umi dan abi nya, ya itu kak Latif kakak kesayangannya.
“subhanaAllah, kak Latif. Shyfa langsung belari dan mencium tangan kakaknya itu. Kenapa kakak tidak memberi tahu kalau kakak mau pulang?”
“kakak disuruh umi dan abi untu merahasiakan kepulangan kakak ini, katanya buat memberi kejutan seperti itu, dan nyatanya adik kakak ini benar-benar terkejut” hhhhh mereka tertawa bersama. Memang sudah hampir satu tahun ini kak Latif tidak pulang ke rumah, dulu setelah tamat dari pondok pesantren kak Latif langsung melanjutkan studinya di Arab Saudi. Dan tahun ini dia baru bisa pulang menemui keluarganya di Indonesia. Kak Latif adalah sosok pengayom bagi Shyfa sifatnya yang lemah lembut serta bijaksana membuat Shyfa sangat sayang kepada kakaknya ini. Bahkan yang mendorong agar Shyfa mengenakan jilbab syar’i adalah kak Latif dan selalu mengingatkan agar Shyfa sholat tepat waktu adalah kak Latif.
Sepertinya Shyfa melupakan sesuatu, Farah yang sedari tadi berdiri mematung di pinggir tangga hanya tersennyum melihat kakak beradik ini saling melepaskan rindu.
“Astaghfirullah, Farah sini kenapa berdiri disitu. Ayo sini aku kenalkan dengan kakakku”
Farah pun mendekati Shyfa, “kak ini temanku, namanya Farah tetangga samping rumah kita dia baru pindah ke sini 3 bulan yang lalu. Dan Farah ini kakak ku, kak Latif yang sering aku ceritakan itu loh. Ganteng kan hihihii?” Cerocos Shyfa.
Kak Latif lalu menyatukan tangannya di depan dada, mengucapkan salam
“Assalamualaikum, senang berkenalan dengan mu saya Latif kakanya Shyfa”
“Waalaikumsallam, saya Farah.”
“sudah kan kenalan-kenalannya, ayo makan Abi sudah lapar ni.” Semua tertawa dan akhirnya makan malam bersama.
Setelah selesai makan malam, kak Latif izin untuk ke kamar duluan mau istirahat karena kecapean seharian di perjalanan. Umi dan Abi memilih bersantai di teras rumah yang berada di samping ruang tengah langsung menghadap ke jalan raya. Sedangkan aku dan Farah langsung menuju kamar untuk istirahat. Sesampainya di kamar aku langsung menginterogasi Farah dengan beribu pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi           kepadanya.
“Farah, sekarang kau jujur, kenapa ayah mu bisa sebegitu marah padamu? Apa yang sebenarnya terjadi, jujur aku sangat tidak terima ketika ayahmu menarik jilbabmu dan melemparnya ke selokan, itu bagai pelecehan yang luar biasa terhadap kaum wanita aku sangat tidak setuju Farah. Kenapa ayahmu sampai melakukan      hal       itu?”
Farah membenahi tempat duduknya di pinggir kasur, ia menatap lekat mata Shyfa dan mulai menangis sesegukkan. Shyfa semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

“Semuanya berawal 4 bulan yang lalu sebelum aku dan ayah pindah kesini, saat itu aku mempunyai kekasih yang usianya sangat jauh denganku. Dan ayah tidak menyetujui hubungan kami, terlebih ayah adalah seorang ustad di kampungku dan ayah juga tahu aku mengenakan jilbab panjang dan aku terkadang juga mengenakan cadar saat ke luar rumah. Ayah sangat tidak menyukai Ahmad karena ayah menganggap Ahmad sudah mencuci otak ku, aku jadi sering membantah dan melawan kepada orangtuaku, tidak mendengarkan nasehat-nasehat mereka, kuliahku jadi berantakan aku jadi sering terlambat masuk kelas, dan jarang mengerjakan tugas kampus. Suatu ketika ayah melihatku mengetahui sedang bertelfonan dengan Ahmad dan saat itu juga Handphoneku langsung dilempar ayah ke luar rumah, ayah marah besar terhadapku. Suatu malam saat ayah sedang ada pengajian di Masjid, aku pergi bersama Ahmad ke suatu tempat dan aku melepas jilbabku saat itu, ya Allah ampuni aku”. Farah semakin sesegukan menangis, dan aku mencoba menenangkannya.
Dia melanjutkan ceritanya, “aku adalah seorang anak piatu ibuku meninggal dunia saat melahirkan adikku dan naasnya lagi adikku juga meninggal saat itu. Ayah sangat terpukul, berminggu-minggu dia tidak banyak bicara dan mengurung diri di kamar. Ayah hampir gila saat itu, untuk beberapa saat aku bisa melupakan Ahmad dan tidak berpacaran lagi. Aku merawat ayahku dengan penuh kasih sayang, lambat laun ayah sudah mulai mau makan dan sudah mau mengikhlaskan kepergian ibuku dan adikku.
Sejak itulah ayah sangat disiplin terhadapku, segala gerak-gerikku selalu dibatasi oleh ayah, tidak boleh kesana-kemari, tidak boleh mengenal laki-laki. Setelah aku kuliah, lagi-lagi aku mengenal laki-laki namanya Ilham, dia satu kampus denganku dan satu jurusan juga. Ilham sangat baik terhadapku, mengajarkan banyak hal. Lagi-lagi aku terperdaya olehnya, aku pamit kepada ayah pura-pura mengerjakan tugas padahal aku pergi bersama Ilham. Dan dua bulan berikutnya aku mengalami demam tinggi, kepalaku sering pusing, dan aku sering muntah-muntah. Ayah berinisiatif untuk mengajak ku ke Rumah Sakit, sesudah diperiksa dokter, dokter memvonisku kena penyakit Leukimia dan lebih mengejutkan lagi aku      hamil.
Betapa ayah sangat terkejut saat itu, selama perjalanan pulang tidak sepatah kata pun diucapkan oleh ayah, ayah ngebut sekali membawa mobil aku tau saat itu ayah pasti sangat marah besar kepadaku, aku hanya bisa menangis dan meratapi nasibku.
Dan seperti yang kau lihat tadi, itulah puncaknya ayah memarahiku saat ayah tau Ilham tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya”. Farah menangis dalam pelukan Shyfa mereka hanyut dalam haru malam itu, Shyfa memeluk Farah.
“aku tahu perasaanmu saat ini Farah, aku kau pastilah sangat terpukul Farah, tapi satu pintaku padamu Farah, demi Allah jangan kau gugurkan kandunganmu ini, aku mohon Farah kasihan anak ini dia sama sekali tidak bersalah” lirih Shyfa.
“aku tahu Shyfa, tapi jujur aku malu dan ayah selalu memaksaku untuk mengugurkan kandungan ini, ayah malu karena aku adalah anak seorang ustad yang mengenakan jilbab panjang dan cadar tapi melakukan dosa besar yang tida ada ampunan di mata Allah, Shyfa” air mata Farah semakin deras mengalir.
“Allah maha pengampun Farah, bertaubatlah taubatan nasuha, insyaAllah.”
Pagi-pagi sekali setelah aku bangun dari tidur, kulihat Farah sudah tidak ada lagi di kamar, aku keluar dan kudapati Umi yang sedang menyapu di halaman.
“Mi, Farah kemana?”
“Farah baru saja pulang, katanya takut dicari ayahnya, begitu”
Aku merasa lega karena Farah ada di rumahnya, dan aku memutuskan untuk ke kamar. “Tok… tok… tok… dik, sudah mandi belum?”
Ternyata kak Latif yang mengetuk pintu, “engh belum kak, kenapa?”
“Kita pergi ke taman yuk, sudah lama kakak tidak ke sana rindu sekali rasanya”. “iya kak, Shyfa siap-siap dulu ya”.
Sesampainya di taman kak Latif mengajak ku duduk di depan danau, di bawah pohon yang rimbun. “sudah lama sekali kakak tidak kesini dan susananya tidak jauh berbeda seperti setahun lalu. “Bagaimana kuliahmu dik? lancar kan?” Tanya kak Latif
“iya alhamdulillah lancar kak, kakak sendiri bagaimana skripsi nya sudah selesai belum?”
“sebentar lagi rampung dik, tahun-tahun ini lah insyaAllah kakak akan diwisuda”
“wah, alhamdulillah kalau begitu kak. Tidak terasa sebentar lagi kakak akan jadi sarjana”
“doakan kakakmu ya semoga diberikan kelancaran, eh iya kakak boleh tanya tidak?”
“tanya apa kak?”
“yang tadi malam itu temanmu ya, siapa namanya, Farah ya? Kuliah dimana dia”
“iya Farah, dia kuliah di IAIN Malang kak, kenapa?”
“eh tidak, anggun sekali ya, matanya indah, teduh melihatnya dan jilbabnya itu yang membuat kakak kagum terhadapnya.”
“hah… kakak kagum kepada Farah?” Shyfa kaget.
“iya, kakak kagum padanya walaupun baru melihatnya semalam”
“kak, sebentar lagi Dzuhur mari pulang”
“loh, kok pulang? nanti saja dik kakak masih rindu tempat ini”
Shyfa sudah berjalan meninggalkan kak Latif tanpa mempedulikan apa yang diucapkan kakaknya itu, dan akhirnya kak Latif pun mengikuti Farah dari belakang.
Ketika telah sampai di rumah ternayata Farah sudah menunggu Shyfa yang punya janji dengannya semalam untuk ke toko buku. Farah ngobrol bersama umi di teras rumah, mereka menyambut kepulangan Shyfa dan kak Latif. Kak Latif yang mengetahui ada Farah di rumah nya hanya tersenyum dan memandangi Farah yang mengenakan jilbab panjangnya berwarna biru muda dan gamis yang sepadan dengan jilbabnya. Mereka beradu pandang dan langsung menundukkan pandangannya masing-masing sambil menahan senyum mereka.
“Kita jadi ke toko bukunya?” tiba-tiba Shyfa mengejutkan nya.
“eh, iya jadi Shyfa.”
“ya sudah, nanti kita minta antar kak Latif saja, sekalian dia mau silahturahmi ke tempat gurunya sewaktu di pesantren dulu, iya kan kak?”
“iya dek, tapi kita sholat Dzuhur dulu ya.”
Mobil sedan itu pun melaju, selama di perjalanan kak Latif selalu memandangi wajah Farah yang anggun dengan jilbab birunya itu, melalui kaca. Shyfa yang mengetahui hal itu langsung berkomentar.
“kak Latif dari tadi mandangin Farah terus, ntar jatuh cinta loh.” Rayu Shyfa.
“ah kamu ini dik, nggak kok.”
Farah hanya tersenyum tersipu malu mengetahui hal itu.
Sesampainya di toko buku, kak Latif langsung izin pergi untuk menemui gurunya.
Tiba-tiba telepon rumah berdering, umi yang sedang memasak di dapur langsung berlari kecil untuk mengangkat telepon tersebut. Suara laki-laki menyapa dari balik gagang telepon.
“Assalamualaikum, benar ini dengan uminya Shyfa?”
“waalaikumsalam, iya benar maaf ini siapa ya?”
“saya Bayu temannya Shyfa, tadi saat di toko buku Farah pingsan dan sampai saat ini belum sadarkan diri, Shyfa pesan dia pulangnya agak terlambat nanti”
“astaghfirullah, ya sudah sekarang Farah di rumah sakit mana biar nanti umi juga ke sana.”
“di Rumah Sakit Mitra Sejahtera umi, sudah dulu ya ini ada ayahnya Farah yang baru sampai, assalamualaikum.”
“iya-iya, waalaikumsallam.”
Umi terlihat gelagapan saat itu, dia ingin ke rumah sakit tapi abi sedang ada di kantor. Jadi umi memutuskan untuk menghubungi Kak Latif dan mengajaknya ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, umi dan kak Latif langsung berlari menuju ruangan tempat Farah dirawat. Tepat di depan pintu kamar umi melihat Shyfa yang berlinangan air mata, ditemani Bayu. Umi langsung memeluk Shyfa dan mengajak Shyfa masuk ke dalam ruangan untuk melihat keadaan Farah. Ternyata di dalam sudah ada ayah Farah yang menemaninya, mata Farah sayu sekali saat itu, bibirnya pucat, dan tetes infus mengalir di tangannya.
“Farah, bagaimana keadaan mu nak” tanya umi.
Farah hanya tersenyum, meyakinkan umi bahwa dia baik-baik saja.
Apa yang sebenarnya terjadi, kamu sakit apa nak?
“Farah terkena penyakit Leukimia mi dan… Farah hamil.” Ungkap Shyfa.
“Apa? Umi dan kak Latif terkejut bukan main saat itu, apa katamu Farah hamil?”
“iya mi, saat di toko buku Farah ke dalam toilet dan mencoba mengugurkan kandungannya.” Derai air mata Shyfa membanjiri setiap jengkal wajahnya.
“astagfirullah, kenapa ini bisa terjadi Farah?” lirih umi.
“itulah yang membuat saya sangat marah kepada Farah beberapa waktu yang lalu, saya sebagai ayahnya merasa sangat malu mengetahui keadaan ini, dan yang lebih membuat saya terpukul adalah bahwa Ilham laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab atas apa yang sudah dia lakukan terhadap Farah. Beberapa kali saya coba memaksa Farah untuk menguguran kandungannya tetapi tetap saja tidak bisa, saya malu, tidak akan ada lagi laki-laki yang mau menjadi suaminya, dan Farah akan merawat anak ini dengan sendirian, saya malu sekali atas apa yang dilakukan Farah.” Nampaknya ayah Farah sangat terpukul, suaranya sangat berat untu mengungkapkan hal yang sesungguhnya.

“Saya yang akan menikahi Farah, saya bersedia menjadi ayah dari anak ini, dan saya akan terima Farah dengan segala kekurangan yang ia miliki, saya bersedia, izinkan saya memperisitri Farah.” Dengan lantang kak Latif menyampaikan isi hatinya.
Semua yang ada di ruangan itu sangat terkejut, terlebih umi dan Shyfa. Dan Farah tidak bisa membendung tangisnya saat itu. Semua memeluk Farah saat itu, dan umi menyatakan mengiznkan kak Latif menikahi Farah, seminggu setelah itu Farah sudah agak pulih dan acara pernikahan pun dilangsungkan, setelah melahirkan Farah ikut kak Latif ke Arab Saudi untuk hidup bersama disana, karena ternyata kak Latif mendapat pekerjaan yang menjamin kelangsungan hidup mereka di Arab Saudi. Farah pun hidup bahagia bersama kak Latif dan malaikat kecil mereka Muhammad Nuzul Fatahillah.

Tidak ada komentar: